Won’t give up

Forever right here by.vberg Y

Kehidupan manusia sering diibaratkan bagai roda yang berputar, kadang di atas kadang di bawah. Ini merupakan penegasan akan ketidakpastian dalam hidup seseorang. Seperti cuaca di musim penghujan yang kadang cerah namun kadang mendung rata, ada kalanya terik namun ada kalanya hujan lebat, menggambarkan kehidupan manusia yang dapat berubah tanpa dapat ditolak.

Kenyataan ini seolah menegaskan bahwa manusia sesungguhnya merupakan pion permainan nasib belaka. Bila demikian, bukankah lebih baik bila manusia tidak perlu berupaya mati-matian untuk meraih kehidupan yang baik bagi dirinya? Bukankah lebih baik bila manusia menikmati kesenangan hidup selagi ada kesempatan?

Pandemi covid-19 yang berlangsung sejak akhir tahun 2019 dan belum mereda hingga akhir tahun 2021 ini, telah menjungkir-balikkan kehidupan banyak anak manusia di bumi ini. Ancamannya sempat mereda melalui penanganan protokol kesehatan yang cukup ketat, termasuk vaksinasi masal yang bertujuan untuk mencapai kondisi kekebalan masyarakat (herd immunity). Sudah mulai banyak negara yang melonggarkan kebijakan pengetatan aktifitas warganya, tiba-tiba muncullah varian baru yang disebut sebagai varian omicron yang jauh lebih menular dan mematikan daripada varian awal. Bila mengacu pada huruf abjad Yunani, berarti omicron merupakan varian kelima-belas dari virus ini. Semua upaya penanganan yang telah dilakukan seolah dimentahkan oleh kemunculan varian ini.

Alkitab menarasikan banyak tokoh yang mengalami kehidupan yang terjungkir-balikkan oleh berbagai sebab, misalnya Musa, Yusuf, Daud, Ayub, dan lain-lainnya. Semuanya pernah mengalami goncangan jungkir balik dalam perjalanan hidupnya. Musa yang hidup sebagai seorang pangeran Mesir, berubah menjadi kriminal pelarian. Yusuf yang merupakan anak emas ayahnya, berubah statusnya menjadi budak di tanah asing. Daud yang dielu-elukan sebagai pahlawan perang Israel dan menantu raja Saul, menjadi buronan raja Saul. Ayub sebagai kepala keluarga kaya raya menjadi penderita sakit parah yang bangkrut total, dan sebagainya. Ada pelajaran menarik saat mencermati sikap tokoh-tokoh Alkitab tersebut saat berada dalam posisi terpuruk. Pelajaran ini dapat dijadikan refleksi motivatif bagi Anda dan saya yang sedang mengalami dampak buruk pandemi covid-19 saat ini.

Teodisi

Nampaknya tidak ada manusia di muka bumi ini yang berani mengklaim bahwa dirinya tidak pernah mengalami kehidupan yang menyusahkan. Boleh dipastikan bahwa hidup di dunia ini tidak selalu dipenuhi dengan sukacita. Tentu saja hidup juga tidak sepenuhnya berwarna kelam pekat, ada bagian sukacita yang mewarnainya. Jadi ada nikmat hidup di balik apa yang seolah nampak sebagai kesia-siaan perjuangan hidup, sebagaimana yang disuarakan oleh Pengkhotbah dalam kitabnya.

“Mari, makanlah rotimu dengan sukacita, dan minumlah anggurmu dengan hati yang senang, karena Allah sudah lama berkenan akan perbuatanmu. Nikmatilah hidup dengan isteri yang kaukasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari.”  [Pkh. 9:7,9; TB LAI]

Tokoh-tokoh Alkitab di atas, pernah mengalami masa kehidupan yang boleh dibilang sangat nyaman, namun kemudian karena satu dan lain hal, masing-masing mengalami keterpurukan drastis yang sangat menyakitkan. Bila sejak awal memang hidupnya sudah dalam keadaan tidak nyaman, maka penderitaan hidup selanjutnya tidak begitu terasakan. Namun bila sebelumnya hidupnya itu penuh kenyamanan maka keterpurukan akan sangat terasakan. Layaknya semakin tinggi posisi sesuatu maka kejatuhannya akan semakin meluluh-lantakkannya, karena mengandung energi potensial yang besar. Celakalah apabila keterpurukan itu bukan disebabkan oleh kesalahan yang dilakukannya sendiri, sehingga tidak selayaknya mereka mengalami penderitaan dalam keterpurukan tersebut.

Kritisi pikiran logis manusia akan memunculkan pertanyaan atas keberadaan Tuhan yang maha kasih, maha tahu, sekaligus maha kuasa. Bila benar Tuhan itu maha kasih, mengapa umat-Nya mengalami penderitaan yang tidak selayaknya dipikulnya. Bila Tuhan itu maha kuasa, mengapa Tuhan tidak melarang penderitaan tidak layak yang dipikul oleh umat-Nya. Bila Tuhan maha tahu, masakan Tuhan tidak lebih dulu tahu ancaman derita yang akan melanda umat-Nya. Di manakah Tuhan???

Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik di atas, perlu dipertemukan dengan hakekat kesempurnaan absolut Tuhan. Salah satu caranya adalah dengan menyampaikan teodisi, berasal dari kata Yunani yang bermakna keadilan Allah (Theos = Allah + Dikaios = adil). Ada beberapa poin teodisi yang dapat direnungkan, yaitu:

Hukum alami sebab-akibat: Musa menjadi pelarian setelah membunuh seorang mandor Mesir sehingga terancam hukuman mati menurut hukum Mesir. Yusuf membangkitkan kebencian saudara-saudaranya (seayah, lain ibu) dengan pamer jubah simbol “anak emas” ayahnya. Daud dianggap sebagai ancaman oleh raja Saul karena kurang tampil rendah hati (low profile) atas kesuksesan perangnya. Ayub mempersembahkan korban materi seolah untuk “menyuap” Tuhan daripada semata karena keagungan Tuhan, sang Pencipta dan Pemelihara.Kemampuan berkehendak bebas: sebagai manusia yang dicipta menurut gambar rupa Tuhan, manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih tindakan yang dilakukannya. Apapun pilihan yang diambil pasti berdampak, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungannya. Kapasitas kehendak bebas sendiri bukanlah “cacat” yang harus dihilangkan. Tuhan yang maha mulia merupakan pribadi yang konsisten dan tanpa kemunafikan, sehingga kehendak bebas yang dimiliki manusia sebagai konsekuensi keberadaan dirinya yang serupa gambar Tuhan, merupakan kapasitas mulia yang sejati walaupun tetap bersifat relatif sesuai natur ciptaan (genuine relative free will). Dengan demikian manusia dapat memilih apa yang jahat, yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, walau tidak terlepas dari ijin Tuhan. Tuhan tidak serta merta menghalangi tindakan manusia yang dilakukannya berdasarkan pertimbangan dan dorongan kehendak bebasnya. Manusia yang bebas memilih sesuai karakter dan pertimbangannya, bertanggung jawab secara pribadi atas tindakan yang dipilihnya tersebut.Misteri kebaikan yang lebih besar (greater good): manusia tidak tahu pasti kondisi akhir hidupnya, dan tidak tahu sepenuhnya dampak dari tindakannya. Derita yang melanda dirinya, bukanlah akhir dari segalanya. Manusia sebaiknya tidak fokus pada penderitaan yang sedang dialaminya, melainkan pada Tuhan yang berdaulat dan berkuasa atas apapun juga. Hakekat Tuhan yang maha baik dan maha kuasa, tidak mungkin merancangkan yang jahat bagi umat-Nya, bahkan Tuhan dapat memakai penderitaan nyata sesaat/temporal untuk mendatangkan kebaikan bagi umat-Nya.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”  [Yer. 29:11; TB LAI]

“Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud untuk melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.”  [Kej. 50:20; TB LAI]

Bisa saja terjadi bahwa penderitaan itu tidak dihentikan hingga akhir hayat orang yang sedang dilanda derita tersebut, juga tidak disingkapkan alasan di balik penderitaan yang diijinkan Tuhan melandanya. Oleh sebab itu, manusia perlu untuk memegang prinsip berikut dalam menyikapi penderitaan.

Vberg Y ✍🇨🇺

Diterbitkan oleh Van Berg

saya membagi agar anda melihat mengambil pengetahuanNya

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai